Sabtu, 01 November 2008

Bioethanol_1

Bioethanol merupakan salah satu bentuk alkohol. Di Surakarta, ethanol 30% umumnya digunakan untuk beverage (dalam Islam, minuman jenis ini termasuk haram). Pada kadar 70% dapat ditemui di apotik dan di rumah sakit. Bioethanol dengan kadar 95% memang dapat diproduksi dengan cara distilasi.

Di daerah Bekonang-Sukoharjo, terdapat satu sentra produksi ethanol. Teknologi yang digunakan juga sederhana. Bahan baku berasal dari tetes tebu, kemudian difermentasi. Hasil fermentasi kemudian di distilasi beberapa tingkat sehingga dapat diperoleh ethanol dengan kadar yang berbeda-beda.

Untuk penggunaan di kendaraan bermotor, baik dalam bentuk FGE (Fuel grade ethanol) atau gasohol, dimana ethanol dicampur dengan bensin. Ethanol yang digunakan untuk kendaraan bermotor adalah ethanol yang mempunyai kadar 99,5%. Untuk memperolehnya tidak dapat digunakan teknik distilasi, karena ethanol dan air akan membentuk campuran azeotrop pada kadar sekitar 95%. Campuran azeotrop adalah campuran yang tidak dapat dipisahkan dengan cara distilasi. Beberapa teknik sudah dikembangkan banyak peneliti untuk memperoleh ethanol 99,5% atau lebih.

Berapa sih kandungan energi dari ethanol. Berikut beberapa data yang berguna:

Selasa, 10 Juni 2008

Produk Biobriket

Berikut produk biobriket dari Jurusan Teknik Mesin FT UNS

Kamis, 05 Juni 2008

Pengolahan Biomass

Laporan Penelitian: Pengolahan biomass menjadi biobriket dan cbm (campuran biomass minyak) sebagai bahan bakar alternatif pada industri pengecoran aluminium.

Salah satu sumber energi terpenting terutama untuk negara berkembang adalah biomassa. Dibandingkan dengan bahan bakar yang lain, biomassa mempunyai densitas yang rendah sehingga menyebabkan densitas energi yang rendah pula. Disamping itu, dari karakteristik densitas yang rendah dan berdebu dari biomassa juga menyebabkan masalah dalam transportasi, penanganan, penyimpanan dan pembakaran langsung. Salah satu teknologi yang menjanjikan adalah proses pembriketan. Teknologi ini secara sederhana didefinisikan sebagai proses densifikasi untuk memperbaiki karakteristik bahan bakar biomassa. Sifat-sifat penting dari briket yang mempengaruhi kualitas bahan bakar adalah sifat fisik dan kimia. Sebagai contoh adalah karakteristik densitas, ukuran briket, kandungan air, nilai kalor dan energi per satuan volume. Penelitian ini menyelidiki pemanfaatan biomassa yang melimpah sebagai sumber energi dengan menjadikannya biobriket. Dengan menggunakan analisis proximate diukur beberapa parameter seperti : kandungan air, volatile matter, kandungan abu, fixed carbon dan nilai kalor dari biomassa. Parameter-parameter tadi memberikan sifat teknis dari energi biomassa sebagai bahan bakar potensial pengganti bahan bakar fosil. Pemilihan biomassa berdasarkan nilai kalor yang tinggi, kandungan volatil yang tinggi, kadar abu rendah, kandungan fixed carbon sedang dan ketersediaannya yang melimpah. Kandidat biomassa yang dipilih untuk dijadikan biobriket adalah jerami, gergajian glugu dan gergajian kayu jati. Selama tes pembriketan, pengaruh ukuran partikel, kadar air dan temperatur biomassa pada tekanan pembriketan sebesar 450 kg/cm2 diuji terhadap kualitas briket. Kualitas briket ditentukan oleh nilai kuat tekannya. Dengan menggunakan alat tekan hidrolik bertekanan 500 kg/cm2, dibuat briket berbentuk silinder berdiameter 30 mm dengan atau tanpa bahan pengikat. Sebagai bahan pengikat digunakan kanji sebesar 5%. Dalam proses pembriketan, ukuran partikel divariasi 20, 40, dan 80 mesh, kandungan air divariasi 15%, 20% dan 25%, dan temperatur pembriketan divariasi pada 60o, 80o, 100o dan 120o. Dari data penelitian disimpulkan bahwa dengan tekanan pembriketan sebesar 450 kg/cm2 cukup bagus untuk membuat biobriket dari jerami, gergajian glugu dan gergajian kayu jati. Hasil biobriket yang optimum untuk semua bahan biomassa didapatkan untuk ukuran partikel 20 mesh, kandungan air kurang dari 15% dan dengan penambahan kanji 5%. Briket jerami yang dibuat dengan menggunakan preheating menunjukkan kuat tekan yang lebih tinggi, tetapi ini tidak terjadi pada briket glugu dan kayu jati. Briket dibakar pada alat uji pembakaran untuk mengetahui karakteristik pembakarannya.

Laju aliran udara divariasi pada kecepatan 0,6 m/s, 0,8 m/s, 1,0 m/s dan 1,2 m/s sedangkan ukuran partikel divariasi 20, 40, dan 80 mesh. Didapatkan bahwa laju aliran udara dan ukuran partikel berpengaruh pada karakteristik pembakaran. Dari uji pembakaran dapat digunakan untuk menentukan laju pembakaran, profil temperatur pembakaran, parameter kinetika pembakaran (energi aktivasi dan konstanta Arhenius) dan emisi CO. Biobriket menunjukkan laju pembakaran yang lebih tinggi, tetapi waktu pembakarannya lebih singkat dari briket batubara. Rendahnya nilai peak temperature dari biobriket mengindikasikan bahwa biobriket lebih mudah terbakar atau lebih reaktif dari briket batubara. Reaktifitas briket dari penelitian ini menurun dengan urutan : briket jerami, gergajian glugu, gergajian kayu jati dan batubara. Dari perhitungan kinetika pembakaran, tidak didapatkan korelasi antara nilai energi aktivasi dengan reaktifitas biobriket. Emisi CO dari biobriket terjadi terutama pada tahap pembakaran volatil (tahap devolatilisasi). Emisi CO dari biobriket lebih besar dari 50 ppm, melebihi ambang batas yang diijinkan, tetapi hal ini disebabkan karena desain ruang bakar dan kondisi pembakaran yang kurang optimum bukan karena sifat kimia biobriket.

Kata kunci : biomass, biobriket

Peneliti:
1. Tri Istanto
2. Suyitno
3. Wibawa Endra Juwana

Instansi: Fakultas Teknik UNS, Penelitian, Dikti, Hibah Bersaing, 2005.

Pemanfaatan Biobriket UNS di Masyarakat

Dengan biobriket yang nilai kalornya sekitar setengah dari nilai kalor 1 liter minyak tanah dengan harga jual sekitar Rp 500 akan terjadi penghematan biaya bahan bakar sebesar 50% (lihat Tabel). Dengan data ini memperlihatkan bahwa briket biomasa secara harga akan mampu bersaing dengan batubara dan minyak tanah. Dengan mengatur kandungan volatil yang cocok, briket biomasa relatif lebih mudah dinyalakan daripada briket batubara. Bau yang dikeluarkan dari pembakaran biobriket juga tidak terlalu menyengat sebagaimana bau yang dikeluarkan selama pembakaran biobriket. Memang kandungan kalor dari biomasa yang lebih rendah menyebabkan jumlah briket yang diperlukan untuk keperluan yang sama relatif lebih banyak dibanding batubara dan minyak tanah, namun dengan teknik karbonisasi nilai kalor dari briket biomasa dapat ditingkatkan lagi. Dari Tabel terlihat jelas bahwa biobriket yang dihasilkan oleh Laboratorium Perpindahan Panas Jurusan Teknik Mesin FT UNS mampu melebur aluminium dengan kebutuhan dan waktu yang bersaing dengan briket batubara di pasaran.

Tabel Penghematan yang terjadi dengan menggunakan biobriket




Dari data-data tersebut di atas, peluang pasar dari biobriket cukup menjanjikan, khususnya jika dilihat dari beberapa aspek:
Ø Harga BBM yang tinggi.
Ø Pengurangan suplai BBM khususnya minyak tanah.
Ø Briket Batubara mempunyai beberapa kelemahan.

o Susah dalam penyalaan.
o Menyebabkan polusi udara
o Berbau jika dibakar.
o Harga cukup tinggi
Ø Dengan biobriket diharapkan dapat bersaing di pasar karena:

o Harga yang relatif lebih murah.
o Terjadi penghematan yang signifikan (Tabel).
o Nilai kalor cukup tinggi.
o Lebih mudah dalam penyalaan.
o Tidak terlalu berbau saat digunakan.
o Kandungan sulfurnya sangat rendah.
o Bahan baku tersedia melimpah.
o Masyarakat pedesaan sudah familiar dengan kayu.
Briket yang dikembangkan di Laboratorium Perpindahan Panas Jurusan Teknik Mesin FT UNS juga telah diujicobakan untuk peleburan aluminium. Kualitas briket biomasa dapat bersaing dengan briket batubara yang ada di pasaran. Waktu peleburan 1 kg aluminium rata-rata memerlukan waktu 25-30 menit. Jumlah briket kayu yang diperlukan sebanyak 1,1 kali dari jumlah yang diperlukan dari briket batubara, karena walau bagaimanapun nilai kalor dari briket biomasa masih lebih rendah dibanding briket batubara.

Perkembangan Teknologi Pembriketan

Pengembangan biobriket umumnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas fisik dan keterbakarannya. Bentuk-bentuk biobriket juga sudah banyak dikembangkan seperti kubus, silinder, dan sarang tawon. Selain dari biomasa mentah, briket juga telah dikembangkan dari campuran biomasa-batubara yang kemudian lebih dikenal sebagai biocoal. Pembakaran campuran batubara dan biomasa mempunyai beberapa keuntungan yang dapat diperoleh; yakni tingginya kadar zat volatil (volatile matter) dari mayoritas biomasa dan tingginya kandungan karbon tetap (fixed carbon) batubara dapat melengkapi satu sama lain[8, 9]. Kombinasi batubara kualitas rendah (low rank coal) dengan biomasa dapat saling menghilangkan kelemahan dari masing-masing bahan bakar dari sisi proses pembakaran. Keuntungan lain pembakaran biomasa bersama dengan batubara yakni penurunan emisi CO2, SO2, rendahnya emisi NOX, dan tingginya kandungan zat volatil dari biomasa[10].

Saptoadi, H[11] melakukan penelitian pembakaran biocoal (briket campuran batubara lignite dan serbuk kayu) dengan memvariasikan komposisi (perbandingan massa) yaitu 100% batubara, 25% batubara - 75% serbuk gergajian kayu, 50% batubara - 50% serbuk gergajian kayu, 75% batubara - 25% serbuk gergajian kayu, 100% serbuk gergajian kayu dan kecepatan udara pembakarannya. Parameter pembanding yang digunakan dalam penelitian ini yaitu temperatur gas rata-rata, burning time, laju pembakaran, kalor yang dilepaskan. Dari analisis data disimpulkan bahwa biocoal dengan komposisi 25% batubara-75% serbuk gergajian kayu merupakan komposisi terbaik meskipun temperatur gas rata-rata dan nilai kalornya rendah tapi massa yang terbakar, burning time, dan laju pembakarannya cukup bagus.

Othman[12] melakukan penelitian tentang thermogravimetryc analysis pembakaran batubara. Batubara yang digunakan ada 3 jenis, dengan kandungan moisture, kandungan volatile, fixed carbon, dan kadar abu yang berbeda. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin reaktif suatu batubara maka temperatur puncak saat pembakaran batubara tersebut akan semakin rendah. Selain itu semakin tinggi kandungan volatile dari batubara menyebabkan temperatur penyalaannya rendah.

Pengembangan biocoal di UNS sudah berhasil dilakukan. Pada pengujian pengaruh komposisi bahan bakar, kecepatan udara pembakaran dibuat konstan sebesar 0,6 m/s. Pengujian dilakukan pada briket biocoal berbentuk silinder, berdiameter 2,8 cm dengan massa 10 gram. Laju pembakaran briket biocoal naik dengan meningkatnya kandungan biomasa dalam briket biocoal. Dengan semakin banyak kandungan biomasa dalam bahan bakar, penurunan massa yang terjadi semakin cepat. Penurunan massa bahan bakar terjadi paling cepat pada briket 100% biomasa. Sedang pada bahan bakar briket biocoal dengan komposisi bahan bakar antara 20% sampai 80% biomasa, penurunan massa bahan bakar paling cepat terjadi pada briket biocoal komposisi bahan bakar 80% biomasa – 20% batubara. Fenomena ini disebabkan karena dengan bertambahnya kandungan biomasa dalam bahan bakar briket biocoal maka akan diperoleh briket biocoal dengan kadar air lebih rendah, kandungan volatil menjadi lebih tinggi dan kandungan fixed carbon lebih sedikit. Dengan rendahnya kadar air menyebabkan proses pengeringan berlangsung lebih cepat dan proses devolatilisasi berlangsung lebih awal[13]. Kandungan volatil yang tinggi dalam briket biocoal menyebabkan bahan bakar mudah menyala dan lebih reaktif dibandingkan briket 100% batubara. Bertambahnya kandungan biomasa dalam briket biocoal berakibat meningkatkan laju pembakaran.

Residence time (waktu tinggal) adalah lamanya bahan bakar berada dalam ruang bakar. Residence time ini dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya : properties dari bahan bakar sendiri (kadar volatil, kadar fixed carbon, kadar abu), suhu pembakaran, ukuran bahan bakar, dan kecepatan udara pembakaran[13]. Peningkatan kandungan biomasa dalam bahan bakar mempersingkat residence time. Hal ini terjadi karena tingginya kandungan volatile dan rendahnya kadar fixed carbon dalam biomasa. Zat volatile secara cepat dilepas kemudian dengan mudah terbakar pada tahap pembakaran yang lebih awal. Temperatur reaksi biomasa tidak hanya lebih rendah dibandingkan batubara, akan tetapi turun setahap lebih awal, akibatnya proses pembakaran berakhir lebih awal[11]. Selain itu dengan semakin banyak biomasa, kadar fixed carbon dalam biocoal semakin rendah, dimana proses oksidasi arang itu lambat. Jadi jika kadar fixed carbon rendah maka pembakaran berlangsung lebih cepat. Akibatnya residence time bahan bakar lebih singkat.

Pada briket biocoal dengan komposisi biomasa antara 20% sampai 80%, nilai ITVM dan PT terendah dicapai pada briket biocoal 80% jerami – 20% batubara. Hal ini karena pada komposisi campuran bahan bakar ini didapatkan bahan bakar dengan kadar air yang lebih rendah dan kandungan volatile lebih tinggi (lihat tabel 1). Kadar air yang rendah menjadikan proses pengeringan bahan bakar lebih singkat sehingga proses devolatilisasi dapat berlangsung lebih awal[13].

Jumat, 30 Mei 2008

PENGEMBANGAN BIOBRIKET DI UNIVERSITAS SEBELAS MARET_1

Tim kami adalah:

Wibawa Endra Juwana, ST. MT.
Tri Istanto, ST. MT.
Suyitno, Dr. techn. ST. MT.

---------------------------------


Data BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa 77% industri pengolahan di Jawa Tengah tergolong industri kecil menengah (IKM). Di wilayah Subosukawonosraten, sebanyak 17% IKM berada di Surakarta. Dengan komposisi industri pengolahan berkategori IKM dengan jumlah yang demikian besar tentu membutuhkan bahan bakar yang besar dalam operasinya. Bahan bakar yang banyak digunakan adalah bahan bakar minyak (BBM), karena harganya yang terjangkau dan mudah dalam penanganan (handling). Namun setelah terjadi kenaikan harga BBM yang demikian besar tentu sangat memberatkan operasional IKM di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Data di Surakarta dan Kedu menunjukkan bahwa kebutuhan minyak tanah per harinya sebanyak 120 ribu kilo liter atau setara dengan Rp 300 milyar/hari. Data pada Januari 2008 menunjukkan bahwa pasokan Pertamina untuk daerah Surakarta dan Kedu diturunkan menjadi 100 ribu kilo liter[1]. Akibat dari pengurangan jumlah pasokan minyak tanah tersebut terdapat gap kebutuhan sebanyak 17%. Gap inilah yang tentunya dapat diisi oleh bahan bakar gas dan bahan bakar alternatif lainnya.
Bahan bakar yang cukup menjanjikan adalah biobriket. Hal ini mengingat bahwa Indonesia mempunyai potensi energi biomasa yang cukup besar. Diperkirakan potensi keseluruhan energi biomasa setara 50.000 MW. Penggunaan biobriket diyakini dapat bersaing dengan briket batubara tentunya dengan berbagai persyaratan. Dari sejumlah pengalaman terlihat bahwa dengan menggunakan briket batubara yang nilai kalornya setara dengan 0,76 liter minyak tanah akan terjadi penghematan biaya bahan bakar sebesar 30-40%2. Hal yang sama terjadi juga di Surakarta. Sebanyak 30% perusahaan tekstil di Surakarta sudah menggunakan batubara dengan penghematan biaya bahan bakar sebanyak 40% dibandingkan jika menggunakan minyak tanah.
Penggunaan batubara memang secara ad hoc mampu mengatasi masalah harga BBM yang mahal. Namun dalam jangka panjang, jika polusi udara maupun darat (sisa pembakaran) tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Memang nilai kalor dari biomasa lebih rendah dari batubara, tetapi jika dilihat dari aspek polusinya jauh lebih rendah dibandingkan polusi dari pembakaran batubara. Biomasa juga mempunyai kadar sulfur yang rendah (kurang dari 1%). Perlu diingat bahwa penggunaan biomasa tidak cocok digunakan pada pembakaran temperatur tinggi karena abu dari biomasa mempunyai titik leleh yang lebih rendah dibandingkan titik leleh batubara. Karakteristik bahan bakar briket dan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Berbagai jenis bahan bakar dan karakteristiknya

Beberapa kendala lain dari rendahnya daya serap briket batubara di Surakarta adalah persediaan yang terkadang tidak kontinu. Hal ini mengingat sebagian besar tempat bahan baku batubara berada di Kalimantan dan Sumatera. Harganya pun terkadang berfluktuasi. Hal ini juga berlaku pada kokas yang pernah membuat jatuhnya beberapa industri menengah pengecoran logam di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Data tahun 1998 menunjukkan bahwa jumlah industri menengah kecil pengecoran logam sebanyak 332 buah. Namun dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan keterpurukan industri jenis ini. Diperkirakan sekarang tinggal 30 % atau 100 buah yang masih dapat bertahan.
Hal lain yang menyebabkan batubara kurang disukai adalah susah dalam penyalaan (kurang lebih 8-15 menit untuk penyalaan) dan terkadang harus dicelup dulu dengan minyak tanah. Selain itu gas hasil pembakaran batubara yang berbau menyebabkan ketidaknyamanan dalam pemakaian di sektor rumah tangga. Mematikan api dari pembakaran briket batubara juga menjadi persoalan tersendiri.Kualitas briket menurut SNI[5, 6, 7] lebih dilihat pada sifat fisik (kadar air, kadar abu, dan kuat tekan) dan nilai kalor. Padahal masih terdapat beberapa sifat fisik lain yang penting untuk diperhatikan, khususnya jika membicarakan briket biomasa yaitu penambahan panjang, penambahan volume, ketahanan (durability), dan water resistance. Briket biomasa umumnya akan melar kembali (relaksasi) setelah proses pembriketan dan hasilnya mempunyai ketahanan yang rendah. Kedua sifat ini akan menimbulkan masalah pada pengepakan, transportasi, dan penyimpanan. Dilain pihak, beberapa jenis biomasa mempunyai sifat ketahanan yang tinggi. Briket biomasa juga mempunyai sifat cepat terbakar dan mudah dinyalakan dibandingkan briket batubara. Hal ini disebabkan karena kadar volatile dari biomasa umumnya tinggi.