Jumat, 30 Mei 2008

PENGEMBANGAN BIOBRIKET DI UNIVERSITAS SEBELAS MARET_1

Tim kami adalah:

Wibawa Endra Juwana, ST. MT.
Tri Istanto, ST. MT.
Suyitno, Dr. techn. ST. MT.

---------------------------------


Data BPS tahun 2006 menunjukkan bahwa 77% industri pengolahan di Jawa Tengah tergolong industri kecil menengah (IKM). Di wilayah Subosukawonosraten, sebanyak 17% IKM berada di Surakarta. Dengan komposisi industri pengolahan berkategori IKM dengan jumlah yang demikian besar tentu membutuhkan bahan bakar yang besar dalam operasinya. Bahan bakar yang banyak digunakan adalah bahan bakar minyak (BBM), karena harganya yang terjangkau dan mudah dalam penanganan (handling). Namun setelah terjadi kenaikan harga BBM yang demikian besar tentu sangat memberatkan operasional IKM di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Data di Surakarta dan Kedu menunjukkan bahwa kebutuhan minyak tanah per harinya sebanyak 120 ribu kilo liter atau setara dengan Rp 300 milyar/hari. Data pada Januari 2008 menunjukkan bahwa pasokan Pertamina untuk daerah Surakarta dan Kedu diturunkan menjadi 100 ribu kilo liter[1]. Akibat dari pengurangan jumlah pasokan minyak tanah tersebut terdapat gap kebutuhan sebanyak 17%. Gap inilah yang tentunya dapat diisi oleh bahan bakar gas dan bahan bakar alternatif lainnya.
Bahan bakar yang cukup menjanjikan adalah biobriket. Hal ini mengingat bahwa Indonesia mempunyai potensi energi biomasa yang cukup besar. Diperkirakan potensi keseluruhan energi biomasa setara 50.000 MW. Penggunaan biobriket diyakini dapat bersaing dengan briket batubara tentunya dengan berbagai persyaratan. Dari sejumlah pengalaman terlihat bahwa dengan menggunakan briket batubara yang nilai kalornya setara dengan 0,76 liter minyak tanah akan terjadi penghematan biaya bahan bakar sebesar 30-40%2. Hal yang sama terjadi juga di Surakarta. Sebanyak 30% perusahaan tekstil di Surakarta sudah menggunakan batubara dengan penghematan biaya bahan bakar sebanyak 40% dibandingkan jika menggunakan minyak tanah.
Penggunaan batubara memang secara ad hoc mampu mengatasi masalah harga BBM yang mahal. Namun dalam jangka panjang, jika polusi udara maupun darat (sisa pembakaran) tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Memang nilai kalor dari biomasa lebih rendah dari batubara, tetapi jika dilihat dari aspek polusinya jauh lebih rendah dibandingkan polusi dari pembakaran batubara. Biomasa juga mempunyai kadar sulfur yang rendah (kurang dari 1%). Perlu diingat bahwa penggunaan biomasa tidak cocok digunakan pada pembakaran temperatur tinggi karena abu dari biomasa mempunyai titik leleh yang lebih rendah dibandingkan titik leleh batubara. Karakteristik bahan bakar briket dan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Berbagai jenis bahan bakar dan karakteristiknya

Beberapa kendala lain dari rendahnya daya serap briket batubara di Surakarta adalah persediaan yang terkadang tidak kontinu. Hal ini mengingat sebagian besar tempat bahan baku batubara berada di Kalimantan dan Sumatera. Harganya pun terkadang berfluktuasi. Hal ini juga berlaku pada kokas yang pernah membuat jatuhnya beberapa industri menengah pengecoran logam di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Data tahun 1998 menunjukkan bahwa jumlah industri menengah kecil pengecoran logam sebanyak 332 buah. Namun dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan keterpurukan industri jenis ini. Diperkirakan sekarang tinggal 30 % atau 100 buah yang masih dapat bertahan.
Hal lain yang menyebabkan batubara kurang disukai adalah susah dalam penyalaan (kurang lebih 8-15 menit untuk penyalaan) dan terkadang harus dicelup dulu dengan minyak tanah. Selain itu gas hasil pembakaran batubara yang berbau menyebabkan ketidaknyamanan dalam pemakaian di sektor rumah tangga. Mematikan api dari pembakaran briket batubara juga menjadi persoalan tersendiri.Kualitas briket menurut SNI[5, 6, 7] lebih dilihat pada sifat fisik (kadar air, kadar abu, dan kuat tekan) dan nilai kalor. Padahal masih terdapat beberapa sifat fisik lain yang penting untuk diperhatikan, khususnya jika membicarakan briket biomasa yaitu penambahan panjang, penambahan volume, ketahanan (durability), dan water resistance. Briket biomasa umumnya akan melar kembali (relaksasi) setelah proses pembriketan dan hasilnya mempunyai ketahanan yang rendah. Kedua sifat ini akan menimbulkan masalah pada pengepakan, transportasi, dan penyimpanan. Dilain pihak, beberapa jenis biomasa mempunyai sifat ketahanan yang tinggi. Briket biomasa juga mempunyai sifat cepat terbakar dan mudah dinyalakan dibandingkan briket batubara. Hal ini disebabkan karena kadar volatile dari biomasa umumnya tinggi.