Pengembangan biobriket umumnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas fisik dan keterbakarannya. Bentuk-bentuk biobriket juga sudah banyak dikembangkan seperti kubus, silinder, dan sarang tawon. Selain dari biomasa mentah, briket juga telah dikembangkan dari campuran biomasa-batubara yang kemudian lebih dikenal sebagai biocoal. Pembakaran campuran batubara dan biomasa mempunyai beberapa keuntungan yang dapat diperoleh; yakni tingginya kadar zat volatil (volatile matter) dari mayoritas biomasa dan tingginya kandungan karbon tetap (fixed carbon) batubara dapat melengkapi satu sama lain[8, 9]. Kombinasi batubara kualitas rendah (low rank coal) dengan biomasa dapat saling menghilangkan kelemahan dari masing-masing bahan bakar dari sisi proses pembakaran. Keuntungan lain pembakaran biomasa bersama dengan batubara yakni penurunan emisi CO2, SO2, rendahnya emisi NOX, dan tingginya kandungan zat volatil dari biomasa[10].
Saptoadi, H[11] melakukan penelitian pembakaran biocoal (briket campuran batubara lignite dan serbuk kayu) dengan memvariasikan komposisi (perbandingan massa) yaitu 100% batubara, 25% batubara - 75% serbuk gergajian kayu, 50% batubara - 50% serbuk gergajian kayu, 75% batubara - 25% serbuk gergajian kayu, 100% serbuk gergajian kayu dan kecepatan udara pembakarannya. Parameter pembanding yang digunakan dalam penelitian ini yaitu temperatur gas rata-rata, burning time, laju pembakaran, kalor yang dilepaskan. Dari analisis data disimpulkan bahwa biocoal dengan komposisi 25% batubara-75% serbuk gergajian kayu merupakan komposisi terbaik meskipun temperatur gas rata-rata dan nilai kalornya rendah tapi massa yang terbakar, burning time, dan laju pembakarannya cukup bagus.
Othman[12] melakukan penelitian tentang thermogravimetryc analysis pembakaran batubara. Batubara yang digunakan ada 3 jenis, dengan kandungan moisture, kandungan volatile, fixed carbon, dan kadar abu yang berbeda. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin reaktif suatu batubara maka temperatur puncak saat pembakaran batubara tersebut akan semakin rendah. Selain itu semakin tinggi kandungan volatile dari batubara menyebabkan temperatur penyalaannya rendah.
Pengembangan biocoal di UNS sudah berhasil dilakukan. Pada pengujian pengaruh komposisi bahan bakar, kecepatan udara pembakaran dibuat konstan sebesar 0,6 m/s. Pengujian dilakukan pada briket biocoal berbentuk silinder, berdiameter 2,8 cm dengan massa 10 gram. Laju pembakaran briket biocoal naik dengan meningkatnya kandungan biomasa dalam briket biocoal. Dengan semakin banyak kandungan biomasa dalam bahan bakar, penurunan massa yang terjadi semakin cepat. Penurunan massa bahan bakar terjadi paling cepat pada briket 100% biomasa. Sedang pada bahan bakar briket biocoal dengan komposisi bahan bakar antara 20% sampai 80% biomasa, penurunan massa bahan bakar paling cepat terjadi pada briket biocoal komposisi bahan bakar 80% biomasa – 20% batubara. Fenomena ini disebabkan karena dengan bertambahnya kandungan biomasa dalam bahan bakar briket biocoal maka akan diperoleh briket biocoal dengan kadar air lebih rendah, kandungan volatil menjadi lebih tinggi dan kandungan fixed carbon lebih sedikit. Dengan rendahnya kadar air menyebabkan proses pengeringan berlangsung lebih cepat dan proses devolatilisasi berlangsung lebih awal[13]. Kandungan volatil yang tinggi dalam briket biocoal menyebabkan bahan bakar mudah menyala dan lebih reaktif dibandingkan briket 100% batubara. Bertambahnya kandungan biomasa dalam briket biocoal berakibat meningkatkan laju pembakaran.
Residence time (waktu tinggal) adalah lamanya bahan bakar berada dalam ruang bakar. Residence time ini dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya : properties dari bahan bakar sendiri (kadar volatil, kadar fixed carbon, kadar abu), suhu pembakaran, ukuran bahan bakar, dan kecepatan udara pembakaran[13]. Peningkatan kandungan biomasa dalam bahan bakar mempersingkat residence time. Hal ini terjadi karena tingginya kandungan volatile dan rendahnya kadar fixed carbon dalam biomasa. Zat volatile secara cepat dilepas kemudian dengan mudah terbakar pada tahap pembakaran yang lebih awal. Temperatur reaksi biomasa tidak hanya lebih rendah dibandingkan batubara, akan tetapi turun setahap lebih awal, akibatnya proses pembakaran berakhir lebih awal[11]. Selain itu dengan semakin banyak biomasa, kadar fixed carbon dalam biocoal semakin rendah, dimana proses oksidasi arang itu lambat. Jadi jika kadar fixed carbon rendah maka pembakaran berlangsung lebih cepat. Akibatnya residence time bahan bakar lebih singkat.
Pada briket biocoal dengan komposisi biomasa antara 20% sampai 80%, nilai ITVM dan PT terendah dicapai pada briket biocoal 80% jerami – 20% batubara. Hal ini karena pada komposisi campuran bahan bakar ini didapatkan bahan bakar dengan kadar air yang lebih rendah dan kandungan volatile lebih tinggi (lihat tabel 1). Kadar air yang rendah menjadikan proses pengeringan bahan bakar lebih singkat sehingga proses devolatilisasi dapat berlangsung lebih awal[13].
Kamis, 05 Juni 2008
Perkembangan Teknologi Pembriketan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar